CEGAH STUNTING PADA ANAK
Stunting merupakan persoalan
pelik berbeda dengan masalah lain, stunting
bersifat multidimensional. Bukan
hanya kemiskinan dan akses terhadap pangan, tetapi stunting juga terkait dengan
pola asuh dan pemberian makan pada balita. Dampaknya terhadap negara pun
beragam. Mulai dari kesehatan, hingga obesitas dan diabetes melitus penduduk
yang meningkat (Riskesdas 2018).
Dampak pada perekonomian pun
tidak main-main. Catatan Bank Dunia 2016, potensi kerugian akibat
stunting sekitar 2-3% dari gross domestic product (GDP) per tahun. Pada
pertumbuhan penduduk, stunting bisa menurunkan produktivitas sumber daya
manusia. Ini tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di Asean
masih lebih rendah dari Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan setara
Vietnam (UNDP, 2018). Alhasil, terjadi penurunan daya saing sumber daya manusia
(SDM) (UNICEF, 2018).
Ditilik dari sisi isu,
stunting ideal jadi isu penting pembangunan karena tiga hal. Pertama, stunting
adalah salah satu dari dua isu kesehatan terpopuler di Google Trends. Salah dua
yang lain adalah isu Jaminan Kesehatan Nasional, lebih spesifik soal BPJS
Kesehatan. Kedua, dari sisi tata kelola, kantor Sekretariat Wakil Presiden
memegang komando kolaborasi 23 kementerian/lembaga dalam hal pencegahan
stunting. Ketiga, solusi stunting memerlukan detail kebijakan yang pelik dan
tidak instan (Meilissa, 2019).
Stunting dimulai saat
bayi dalam kandungan, terkait asupan gizi ibu dan asupan gizi yang tak seimbang
saat balita. Pemerintah merumuskan, periode kritis pertumbuhan anak terjadi
pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), sejak anak dalam kandungan hingga usia
dua tahun. Ketika pada periode emas ini anak tidak mendapatkan asupan gizi memadai, apalagi jika berlangsung
lama, stunting bakal terjadi. Akibatnya, anak kesulitan belajar dan kurang
berprestasi di sekolah. Bahkan sulit meraih pekerjaan optimal saat usia
produktif. Jika gaya hidupnya tak sehat, bakal terkena penyakit degeneratif
saat tua. Selama ini, pemerintah fokus pada program pemberian bantuan pangan
bergizi, sanitasi dan air bersih serta edukasi kesehatan remaja. Paduan program
ini dinilai sukses menekan angka prevalensi stunting nasional, dari 37,2%
(2013) menjadi 30,8% (2018). Meskipun menurun, tetapi angka stunting nasional
masih besar, jauh di atas standar WHO: 20%. Padahal, anggaran guna menekan
stunting tidak kecil. Investasi pemerintah pusat, daerah dan desa hanya untuk
program nutrisi mencapai Rp 51,9 triliun (2017). Mengapa ini terjadi? Salah
satunya karena di level nasional, isu stunting dan gizi buruk telah lama
menghilang dalam pembangunan. Para pemimpin negeri ini berbangga pertumbuhan
ekonomi bisa dipacu tinggi, dan inflasi ditekan rendah. Akan tetapi, itu semua
tak berbanding lurus dengan perbaikan gizi di masyarakat? Insiden gizi buruk
selalu berulang. Potret kesehatan masyarakat terang benderang tergambar dari
Riset Kesehatan Dasar 2018: stunting turun dari 37,2% (2013) menjadi 30,8%
(2018). Status gizi buruk dan gizi kurang juga turun, dari 19,6% (2013) menjadi
17,7% (2018). Di sisi lain, perbaikan pendapatan memungkinkan warga mengonsumsi
kalori dan lemak melebihi kebutuhan tubuh. Tak hanya kegemukan, bahkan mereka
mengalami obesitas. Proporsi obesitas pada orang dewasa naik dari 14,8% (2013)
menjadi 21,8% (2018). Stunting dan gizi buruk memang multikompleks. Namun,
faktor utamanya adalah kemiskinan. Saat inflasi tinggi harga pangan terasa
mahal. Warga miskin yang 70% pendapatannya untuk pangan harus merealokasikan
belanja dengan menekan pos nonpangan, seperti kesehatan atau beralih ke pangan
inferior, guna mengamankan isi perut. Dampaknya, konsumsi energy dan protein
menurun. Rendahnya kualitas asupan berdampak panjang, bukan hanya pada
kesehatan tapi juga produktivitas SDM. Anak balita, ibu hamil dan lansia adalah
tiga serangkai yang paling rentan kekurangan gizi. Kemiskinan dan gizi kurang
seperti lingkaran setan tak berujung. Karena miskin, asupan gizi kurang
memadai. Tidak hanya pertumbuhan terganggu, IQ-nya pun jongkok. Output-nya,
produktivitas rendah, sakit-sakitan dan terjerat dalam kubangan kemiskinan.
Apabila kita bangga karena
memiliki bonus demografi yang akan membawa Indonesia menjadi negara dengan
ekonomi terbesar ketujuh tahun pada 2030, itu mensyaratkan sumber daya manusia
unggul. Sumber manusia unggul mustahil dicetak jika gizi kurang. Krisis gizi,
tanpa kita sadari, mendorong lahirnya bencana social dan budaya yang amat
serius. Bagaimana mungkin ”bangsa kurang gizi” bisa bersaing dengan
bangsabangsa lain? Bagaimana mungkin “bangsa kurang gizi” bisa kreatif dan
mengemban tampuk kepemimpinan yang membawa negeri ini ke posisi terhormat di
antara bangsa-bangsa di dunia? Peradaban bangsa dibangun melalui kebudayaan
secara intens, kontinu dan konsisten. Sebagai proses belajar yang tak pernah
usai, kebudayaan butuh dukungan banyak faktor, salah satu yang penting adalah
kecukupan gizi para pelakunya.
Sejarah membuktikan, bangsa
yang mampu menghasilkan peradaban tinggi umumnya memiliki badan dan jiwa yang
sehat. Badan dan jiwa yang sehat dibangun dari kecukupan gizi. Sepinya isu
stunting dan gizi buruk sebagai isu pembangunan tidak boleh lagi terjadi.
Stunting dan gizi buruk harus menjadi isu utama saat presiden terpilih dan
memulai kerjakerja teknokratik. Mereka wajib memastikan anak balita, ibu hamil
dan lansia memiliki akses pada gizi yang baik dan cukup.
Negara harus hadir sebagai
garansi terpenuhinya hak pangan hingga di tingkat individu, seperti amanah UU
No 18/2012 tentang Pangan. Ini dilakukan lewat beragam aksi: revitalisasi
posyandu, bantuan pangan bagi balita dan ibu hamil, program tambahan makanan
anak sekolah, subsidi pangan dan stabilisasi harga pangan, dan penganekaragaman
pangan berbasiskan pangan lokal. Lalu, harus dipastikan kesenjangan penyediaan
layanan gizi dan pembelajaran dini untuk mengatasi krisis stunting yang masih
lebar bisa ditekan, terutama akses keluarga di 1.000 hari pertama kehidupan
pada layanan dasar.
Fakta menunjukkan, konvergensi
delapan layanan dasar yang disediakan pemerintah (kesehatan, gizi, sanitasi,
air bersih, pendidikan, pertanian dan jaminan sosial) masih minim: kurang 0,1%
anak usia 2 tahun bisa mengakses semua layanan secara simultan. Temuan ini
menegaskan tiga hal: lemahnya koordinasi antarkementerian/ lembaga; minimnya
kapasitas perencanaan, penganggaran dan monitoring-evaluasi; ketidakmampuan
mengawal ketepatan dan kualitas layanan dasar; dan minimnya upaya peningkatan
demand masyarakat. Terakhir, Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting
2018-2024 (Stranas) yang mengamanatkan intervensi terpadu untuk menyasar
kelompok prioritas di lokasi prioritas harus menjadi panduan dalam bekerja. Jokowi-Ma’ruf
berjanji menurunkan prevalensi stunting sebesar 10% dalam 5 tahun
kepemimpinannya mendatang. Ini sesuai dengan skenario optimistis dari Stranas.
Publik perlu menjaga janji itu untuk ditetapi. Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia (AEPI), anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan
(2010-sekarang), penulis buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press,
2008), dan peminat masalah sosialekonomi pertanian dan globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar